Kau Akan Kembali

“Kau akan kembali, kau pasti kembali. Kami telah membacamu. Kau sedang tinggal di tempat jauh. Tetapi dari sini, ada yang akan selalu menjagamu.” Dan kabut tipis pada bola matanya yang tua menyingsing. Padahal waktu itu hampir tengah malam.

Mama Lidda Mawo Mude. Ketika itu, putranya baru terpilih dan diangkat menjadi Kepala Masyarakat Adat Marapu di Sumba Barat. Ia pun resmi menjadi ibu spiritual bagi kelompok masyarakat adat itu. Tak banyak yang berani terlalu lama disergap tatapannya. Kata-katanya seperti mantra dari kedalaman samudera gelap tak beriak.

Peristiwa itu terjadi awal 2005. Ketika itu saya masih tinggal di Australia dan mengunjungi Sumba Barat untuk kepentingan riset beberapa hari. Kata-katanya tidak terekam dalam transkrip wawancara dan hasil akhir penelitian akademis saya. Tetapi setelah itu, setiap kali ada orang heran dan melontarkan pertanyaan, kenapa saya kembali ke Indonesia padahal peluang karier sebagai akademisi dan peneliti terbuka lebar di Australia, kata-kata Mama Lidda bergema dan membuat saya menjawab, “Kecuali Indonesia begitu membenci saya, sampai warganya mengeroyok atau menghujani saya dengan batu misalnya, saya kembali.”

Gilanya, setelah empat tahun berselang, dan bahkan setelah saya sempat merasa dikeroyok dan dihujani batu secara metaforis, saya tetap di Indonesia. Kata-kata Mama Lidda, yang hidup penuh syukur dan hormat diri di kampung adatnya dalam rajaman kemiskinan paling parah di negeri ini, adalah juga kaca-kaca pada mata kepala masyarakat adat Dayak, adalah senyum pada wajah penganut Sunda Wiwitan, adalah takzim sematan kenanga pengampu tari Bali di rambut saya, dan adalah gravitasi pada saat terhening sebelum saya mendirikan sembahyang. Adalah air, tampaknya, yang menggenang di balik mata mereka, yang tidak menetes keluar tetapi membasuh semua keluh di pedalaman diri, yang menjadi mata air tempat para hati jadi mampu mencuci dirinya sendiri.

Tuduhan modernis yang mencap mereka sebagai manusia-manusia masa lampau, yang perlu dimajukan cara hidupnya, diperbaiki kemampuan analitisnya, dan bahkan, diluruskan cara bertuhannya, semakin menegaskan posisi inferior mereka di hadapan sistem budaya sosial politik dominan. Mereka tidak punya hak, bahkan terhadap sistem nilai, pengetahuan asli, dan ekspresi tradisi yang telah mereka rawat dan kembangkan secara turun-temurun. Mereka nyaris tidak punya apa-apa, selain kemampuan mereka yang luar biasa untuk bertahan hidup. Mereka hanya punya kebijakan tradisi, untuk melenyap dalam keseimbangan alam. Kebijakan yang justru paling esensial dan telah hilang atau sengaja dihilangkan, terasing, namun terus memberi buat para jiwa yang ingin paham makna sesungguhnya dari kesentosaan hidup.

Kini, dalam rumah tua keluarga besar saya, ada kebun kecil di depan kamar. Seorang sahabat menanam kemuning dan melati di tengah kebun itu. Melati membungakan putihnya berganti-ganti dengan sang kemuning. Hening yang harum mengambang, kadang-kadang, di penghujung malam, menyelusup lewat jendela berkaca lebar yang saya biarkan terbuka. Tak ada angin dan nyamuk, anehnya. Beberapa pakis lalu turut tumbuh. Kemudian, perdu-perdu berdaun lebar. Juga beberapa pokok anggrek. Selepas subuh, air yang mengguyur anggota tubuh saya adalah juga air yang membasuh tetumbuhan itu.

Ada kalanya, mereka begitu sederhana, karena musim bunga telah lewat. Namun, batang-batang mereka tetap tegak, menyuling udara Bandung yang beracun, setiap malam. Kitarannya jadi tetap sejuk dan menyaring semua jeri kesadaran yang nyaris lebam oleh tuntutan hidup dan pekerjaan.
Melati, kemuning, dan bahkan anggrek, tak pernah menolak ketika waktu mereka telah sampai. Seindah mereka mekar, seindah itu pula mereka layu, meluruh, dan jatuh menyapa tanah. Jasad mereka lantas merabuk, menjadi hara bagi batang-batang hidupnya sendiri. Mereka hilang untuk tumbuh lagi, dalam raga yang lain, namun yang sesungguhnya, masih melati kemuning dan anggrek juga. Masih diri mereka juga.

Pada lirih kematian bebungaan itu, jiwa penghikmatnya jadi seperti air yang turut jatuh, melirih, untuk berterima. Saya ingat pesan leluhur saya yang disampaikan lewat Ibu kandung saya, ‘Terima dukamu. Biarkan derita menjadi rabuk. Rawat pepohonan bunga itu selalu, di dalam hatimu.’ Lalu, dari Bandung saya titipkan salam terbaik lewat angin kepada Mama Lidda di Sumba sana, ‘Ya, saya telah kembali, merabuk sempurna. Terima kasih penjagaanmu. Kini, ijinkan saya ganti menjagamu.’


Berikan Komentar Anda

CodeNirvana
Newer Posts Older Posts
© Copyright Cah GoBlack Published.. Blogger Templates
Back To Top